Rabu, 16 November 2016

Tax Amnesty Terancam 'Trump Effect'


Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) menimbulkan gejolak di pasar keuangan global. Mata uang banyak negara di dunia termasuk rupiah harus melemah terhadap dolar AS. Hal ini kemudian juga berdampak terhadap program pengampunan pajak atau tax amnesty.

Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, mengatakan tekanan yang terjadi pada rupiah membuat repatriasi terhambat. Pasalnya, orang Indonesia yang tadinya ingin membawa uangnya pulang ke dalam negeri khawatir akan volatilitas dari nilai tukar. Makanya repatriasi baru mencapai kisaran Rp 140 triliun.

"Ada risiko dari rupiah. Makanya banyak orang yang berpikir, lebih baik saya taruh di luar tapi nggak ada risiko nilai tukar," ujarnya di Hotel Kempinski, Jakarta, Rabu (16/11/2016)

Meskipun sebenarnya menurut Chatib pelemahan rupiah tidak akan seburuk yang dibayangkan. Pemilik modal seharusnya tidak perlu khawatir. Meletakkan dana di pasar keuangan Indonesia masih untung dibandingkan negara lain termasuk AS. Indikatornya adalah dari suku bunga acuan.

Investor tidak mungkin memilih Eropa dan Jepang, karena negara tersebut menjalankan suku bunga negatif. Bila menempatkan dana di kedua negara tersebut, artinya investor justru akan rugi.

"Spread yang dijaga antar fed fund rate dan BI rate itu adalah 400 basis point. Karena walaupun interest rate kita positif, tetapi kalau tidak ada premium, maka orang akan melihat return di AS pasti lebih besar. Mungkin pelemahan rupiah akan terjadi, selisih dari BI rate yang sudah relatif besar, mungkin dampaknya tidak terlalu signifikan," paparnya.

Chatib tidak memungkiri bahwa fundamental pasar keuangan juga masih rentan, khususnya untuk obligasi. Sebanyak 39% dari pemegang Surat Berharga Negara (SBN) adalah asing. Sehingga ketika ada sedikit saja gejolak di tataran global, maka investor asing akan kabur.

"Sangat rentan, karena SBN itu hampir 40% itu adalah orang asing. Kalau ada shock setiap waktu itu yang akan membuat rupiah melemah," tandasnya.

Reformasi Pajak

Indonesia membutuhkan reformasi pajak. Walaupun itu seharusnya dilakukan sebelumnya program tax amnesty dijalankan. Namun Chatib memaklumi bahwa orientasi pemerintah adalah menutup penerimaan yang tidak mencapai target di tahun ini.

Reformasi awal seharusnya adalah dari kapasitas Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak). Sekarang 30.000 pegawai pajak harus menangani 250 juta penduduk Indonesia yang artinya 1 orang pegawai pajak harus menangani lebih dari 4000 orang wajib pajak. Sementara Singapura, untuk penduduk 5 juta orang ditangani oleh 2000 petugas pajak. "Harusnya kita itu bisa 100.000 orang pegawai pajaknya," kata Chatib.

Namun juga harus disadari bahwa lulusan akuntan di dalam negeri sulit untuk memenuhi jumlah pegawai tersebut. Menurut Chatib, dibutuhkan sekitar 10 tahun lagi agar rasio pegawai pajak dengan jumlah penduduk untuk sama dengan Singapura. Maka dari itu, diperlukan hal lain sembari mendorong penguatan kapasitas tercapai, yaitu kepercayaan.

"Selama ini orang merasa sudah bayar pajak tapi tidak mendapatkan manfaat apapun. Belum lagi kalau ada kasus korupsi yang melibatkan pegawai pajak. Orang akan kehilangan kepercayaan," terangnya.

"Pemerintah bisa kembalikan kepercayaan kalau bisa menunjukkan hasilnya kepada masyarakat. Masyarakat harus bisa merasakan bahwa apa yang sudah dibangun adalah dari hasil pajak yang dibayarkan," pungkasnya. (mkl/hns)


Sumber : detik.com 

0 komentar:

Posting Komentar